ETIKA SEKSUAL BUDDHIS



Buddhisme punya banyak makna bagi banyak orang,bagi sebagian orang, Buddhisme menawarkan nasihat-nasihat bijak dan bajik mengenai bagaimana mengurangi penderitaan dalam kehidupan moderen pada umumnya,bagi yang lainnya, Buddhisme adalah jalan menuju Pencerahan yang mengakhiri semua penderitaan. Artikel Pak Higgins di Bodhi Leaf edisi November hanya merujuk pada jenis Buddhisme yang terdahulu. Buddhisme yang menuntun kepada Pencerahan adalah sesuatu yang agak berbeda, seperti yang kita lihat sekarang. Tempat seksualitas di dalam Buddhisme dimanifestasikan dengan jelas dalam ceramah pertama Buddha saat Guru Agung ini menyatakan Jalan Tengah yang terkenal itu.



"kita tidak semestinya mengejar kesenangan indrawi (kam-sukha), yang mana adalah rendah, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan kita tidak seharusnya menempuh jalan penyiksaan diri, yang mana adalah menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat. Begitulah telah dikatakan. Dan atas rujukan apa hal itu dikatakan? Pengejaran kenikmatan yang berkaitan dengan nafsu indrawi --rendah, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat--adalah sebuah keadaan yang dirundung oleh penderitaan, kekesalan, keputusasaan, dan kerinduan, dan ini adalah jalan yang salah. Putus dari pengejaran kenikmatan yang berkaitan dengan nafsu indrawi--rendah, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat--adalah sebuah keadaan tanpa penderitaan,kekesalan, keputusasaan, dan kerinduan, dan ini adalah jalan yang benar. Pengejara penyiksaan diri... adalah jalan yang sala. Putus dari pengejaran penyiksaan diri... adalah jalan yang benar. Jalan tengah yang ditemukan oleh Tathagata menghidari kedua ekstrem tersebut... menuntun pada... Nibbana." (terjemahan Bhikkhu Bodhi untuk sabda Buddha di The middle Length discourses of the Buddha, hal. 1080f).


Peryataan Buddha bahwa pengejaran kesenangan indrawi, yang termasuk seks didalamnya, terletak diluar Jalan Tengah, dan ditegaskan berulang kali di dalam Sutta Pitaka. Sebagai contoh, dalam perumpamaan tentang Burung Puyuh, sutta nomor 66 dari Majjhima Nikaya, Buddha menyatakan:

"Nah, Udayin, kesenangan dan kenikmatan yang timbulny tergantung pada lima tali kesenangan indrawi ini disebut kesenangan indrawi--kesenangan yang kotor, kesenangan yang kasar, kesenangan yang tidak mulia. Kukatakan kesenangan semacam ini seharusnya tidak dikejar, seharunya tidak dikembangkan, seharusnya tidak dipupuk, seharusnya dijauhi...(sementara kebahagiaan Empat Jhana), ini disebut kebahagiaan pelepasan, kebahagiaan pencerahan. kukatakan kesenangan semacam ini seharusnya dikejar, seharusnya dikembangkan, seharusnya dipupuk, tidak seharusnya dijauhi" (idem hal.557)


Bahkan dimasa Buddha, beberapa orang sesat pergi berkelilingmengatakan bahwa praktik seksual bukanlah  halangan menuju pencerahan. Buddha dengan keras menegur mereka dengan perumpamaan terkenal tentang ular, yang membandingkan pemahaman keliru mereka terhadap ajatan dengan seseorang yang karena kebodohannya, memegang ekor ular berbisa dibagian ekornya, dan menderitalah jadinya:

Orang sesat, di banyak khotbah bukankah telah kunyatakan, bahwa halangan adalah halangan, dan bagaimana mereka dapat menghalangi kita yang terlihat dengan mereka? Telah kunyatakan bahwa betapa kesenangan indrawi tidak membawa banyak kegembiraan, membawa banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, dan betapa dahsat bahanyanya. Dengan perumpamaan tentang tengkorak...dengan perumpamaan tentang sepotong daging... dengan perumpamaan tentang rumput berduri,..dengan perumpamaan tentangsebongkah arang...dengan perumpamaan tentang mimpi...dengan perumpamaan tentang barang pinjaman...dengan perumpamaan tentang pohon sarat buah...dengan perumpamaan tentang rumah jagal...dengan perumpamaan tentang gagang pedang...dengan perumpamaan tentang kepala ular, telah kunyatakan bahwa betapa kesenangan indrawi tidak membawa banyak kegembiraan, membawa banyak penderitaan dan banyak keputusasaan, dan betapa dahsat bahayanya. Namun engkau, orang sesat, telah menyalahsajikan kami dengan pengertian kelirumu dan melukai dirimu sendiri dan menibun banyak keburukan, karena hal ini akan membawa pada bahaya dan deritamu untuk waktu yang lama." (Sabda Buddha di dalam Perumpamaan Tentang Ular,idem hal 225)


Tentu saja Buddha mengajarkan bahwa praktik-praktik seksual tidak hanya terletak di luar Jalan Tengah, tetapi juga bahwa mereka adalah bagian dari nafsu keinginan (kama-tanha, nafsu untuk kesenangan indrawi) yang digambarkan dalam Kebenaran Mulia Kedua sebagai penyebab dari penderitaan, mereka adalah kelekatan (kama-upadana, kelekatan pada kesengan indrawi), mereka adalah rintangan bagi meditasi (kama-cchanda, yang pertama dari lima rintangan [nivarana]), mereka adalah kotoran (kilesa) bagi batin, belenggu yang menghalangi pembebasan (belenggu keempat, samyojana, adalah kama-raga, "nafsu birahi") dan mereka tidak merupakan bagian dari prilaki yang dapat dilakukan oleh seorang yang tercerahkan) Buddha menyadari bahwa pengajaran semacam ini akan sulit diterima dengan sepenuh hati oleh kebanyakan orang, karena kata beliu tak lama setelah pencerahan-Nya: "dunia, bagaimanapun, jatuh pada kesenangan, bersukacita dengan kesenangan,dibuai dengan kesenangan. Sesungguhnya makhluk-makhluk seperti ini akan sulit memahami hukum kondisionilitas, hukum musabab yang saling bergantung (paticcasamuppada) dari segala sesuatu; akhir dari segala yang berbentuk, pelepasan setiap landasan kelahiran berulang, pemudaran nafsu, ketidaklekatan, pemadaman, Nibbana, tidak akan dapat mereka pahami." (terjemahan Bhikkhu Nyanatiloka dalam The word of the Buddha,hal.2). Tetapi, lebih baik menjadi benar daripada menjadi terkenal. Ajahn Chah, guru besar yang dibawah arahannya kami berlatih selama bertahun-tahun, sama-sama mengajarkan bahwa prkati-praktik seksual harus ditinggalkan jika kita beraspirsi mencapai pencerahan. Sebagai contoh, saya ingat tentang seorang barat yang datang untuk mengunjungi Ajahn Chah dan berkata bahwa dia aktif secara seksual, tetapi tanpa menjadi melekat pada seks. Ajahn Chah mengolok pertanyaan itu sebagai kemustahilan, berkata sesuatu seperti ini; "Bah! Itu kan sama aja bilang bahwa ada garam yang tidak asin"


Ajahn Chah mengajarkan kepada semua yang datang kepadanya, baik biarawan maupun umat awam,bahwa nafsu idrawi adalah kilesa (kotoran batin), itu adalah halangan untuk sukses dalam meditasi dan sebuah rintangan menuju pencerahan. Beliau mengajarkan bahwa aktivitas seksual harus ditinggalkan jika kita ingin mengakhiri penderitaan. Beliau tidak akan pernah bicara untuk memuji seks. Beliau hanya akan bicara untuk memuji pelepasan.


* dikutip dari buku Hidup Senang Mati Tenang

Hubungi Kami

0852-1111-6534

Call/Message/WhatsApp

  • Layanan ManggalaPernikahan, Pindah Rumah, Peresmian Toko, Kelahiran, Menjenguk Orang Sakit, Pelayanan Lapas, Anjangsana
  • Layanan AvamanggalaPelayanan Duka
Copyright © 2017 VIHARA JALAGIRIPURA